Minggu, 06 November 2011

Undang-Undang dan Peraturan Pembangunan Nasional

Ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia terletak dengan kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola.

Pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup.

Menimbang dari hal tersebut ditetapkan Undang-Undang tentang penataan ruang dalam UU No.24/1992 untuk mewujudkan ruang-ruang yang lebih terorganisir.

UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang mengisyaratkan agar setiap kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang bagi setiap kegiatan pembangunan.

RTR Wilayah Kota merupakan rencana pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan dan pengendalian program-program pembangunan perkotaan jangka panjang.

Fungsi RTR Wilayah Kota adalah untuk menjaga konsistensi perkembangan kawasan perkotaan dengan strategi perkotaan nasional dan arahan RTRW Provinsi dalam jangka panjang, menciptakan keserasian perkembangan kota dengan wilayah sekitarnya, serta menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan daerah.

Namun pada kenyataannya masih banyak penyalahgunaan RTRW yang terjadi. Sebagai contoh penerapan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kota Tegal, Jawa Tengah. Pasalnya banyak lokasi usaha dan hunian pemukiman penduduk yang menyimpang dari RTRW. Hal ini dikatakan anggota Fraksi PKS DPRD Kota Tegal, Rofii Ali S.Si, Kamis 31 Maret 2011.

Menurut Rofii, pelanggaran RTRW itu terjadi karena tidak dilibatkannya Team Teknis terkait semisal Dinas Pemukiman dan Tata Ruang (Diskimtaru) dan DPU secara utuh oleh Team Verifikasi Perijinan. Lebih jauh dikatakan, salah satu bentuk penyimpangan RTRW yaitu keberadaan tempat-tempat hiburan karaoke yang hampir menyebar di 4 Kecamatan Kota Tegal.

Di dalam Perda RTRW telah tertulis bahwa untuk bangunan usaha yang diperuntukan bagi usaha jasa dan hiburan sudah ditentukan jauh dari pemukiman penduduk. Pada kenyataannya, banyak usaha hiburan seperti tempat karaoke yang justru berada di tengah-tengah kawasan pemukiman penduduk. Begitupun dengan keberadaan dapur induksi logam yang berada di tengah pemukiman penduduk.

Ini sangat memprihatinkan. Apalagi mengingat bahwa penyalahgunaan tersebut mendapat ijin prinsip dan dimudahkan perijinannya oleh lembaga penerbit ijin.

Mengutip bunyi UU/24 Tahun 1992 Pasal 5 Ayat 2 yaitu,
“Setiap orang berkewajiban menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan”

Ini sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Dan masih banyak contoh penyalahgunaan akan RTRW yang terjadi. Semoga kita semua sadar bahwa penyalahgunaan Undang-Undang seperti inilah yang bisa menyebabkan konflik antar individu/kelompok. Dan semoga kita sadar untuk menaati Undang-Undang yang ada, guna mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil dan makmur.

sumber
http://fhy13candra.blogspot.com/2011/09/undang-undang-dan-peraturan-pembangunan.html

Pengantar Hukum Pranata Pembangunan

Pengertian

Membahas masalah mengenai Hukum Pranata Pembangunan di Indonesia, kita harus mengetahui pengertian dari Hukum, Pranata dan Pembangunan itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online¹,
Hukum adalah (1) peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (2) undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; (4) keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis.

Sedangkan Pranata adalah interaksi antar individu/kelompok/kumpulan, pengertian individu dalam satu kelompok dan pengetian individu dalam satu perkumpulan memiliki makna yang berbeda.

Pembangunan adalah perubahan individu/kelompok dalam kerangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup.

Dapat diambil kesimpulan bahwa Hukum Pranata Pembangunan merupakan Peraturan yang mengatur interaksi antar individu/kelompok guna mewujudkan peningkatan dalam kesejahteraan hidup.

Hukum Pranata Pembangunan dalam bidang Arsitektur lebih mefokuskan peningkatan kesejahteraan antara interaksi individu/kelompok dengan lingkungan binaan. Interaksi yang terjadi menghasilkan hubungan kontrak antar individu yang terkait seperti adalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya dalam rangka mewujudkan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan bermukim.


Struktur Hukum Pranata

Struktur Hukum Pranata di Indonesia :
1. Legislatif (MPR-DPR), pembuat produk hukum
2. Eksekutif (Presiden-pemerintahan), pelaksana perUU yg dibantu oleh Kepolisian (POLRI) selaku institusi yg berwenang melakukan penyidikan; JAKSA yg melakukan penuntutan
3. Yudikatif (MA-MK) sbg lembaga penegak keadilan
Mahkamah Agung (MA) beserta Pengadilan Tinggi (PT) & Pengadilan Negeri (PN) se-Indonesia mengadili perkara yg kasuistik; Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengadili perkara peraturan PerUU
4. Lawyer, pihak yg mewakili klien utk berperkara di pengadilan, dsb.


Contoh Umum

Contoh Kontrak Kerja Bidang Konstruksi :
Kontrak pelaksanaan pekerjaan pembangunan rumah sakit antara
CV. PEMATA EMAS
dengan
PT. KIMIA FARMA
Nomor : 1/1/2010
Tanggal : 25 November 2010
Pada hari ini Senin tanggal 20 November 2010 kami yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Richard Joe
Alamat : Jl. Merdeka Raya, Jakarta Barat
No. Telepon : 08569871000
Jabatan : Dalam hal ini bertindak atas nama CV. PEMATA EMAS disebut sebagai Pihak Pertama
Dan
Nama : Taufan Arif
Alamat : Jl. Ketapang Raya, Jakarta Utara
No telepon : 088088088
Jabatan : dalam hal ini bertindak atas nama PT. KIMIA FARMA disebut sebagai pihak kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatank ontrak pelaksanaan pekerjaan pembangunan Rumah Sakit yang dimiliki oleh pihak kedua yang terletak di Jl. Matraman no 9, Jakarta Timur.
Setelah itu akan dicantumkan pasal - pasal yang menjelaskan tentang tujuan kontrak,bentuk pekerjaan,sistem pekerjaan,sistem pembayaran,jangka waktu pengerjaan,sanksi-sanksi yang akan dikenakan apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran kontrak kerja,dsb.




sumber
http://fhy13candra.blogspot.com/2011/09/pengantar-hukum-pranata-pembangunan.html

Selasa, 01 Februari 2011

ARSITEKTUR TROPIS

MENDEFINISIKAN KEMBALI ARSITEKTUR TROPIS DI INDONESIA


Salah satu alasan mengapa manusia membuat bangunan adalah karena kondisi alam iklim tempat manusia berada tidak selalu baik menunjang aktivitas yang dilakukannya. Aktivitas manusia yang bervariasi memerlukan kondisi iklim sekitar tertentu yang bervariasi pula. Untuk melangsungkan aktivitas kantor, misalnya, diperlukan ruang dengan kondisi visual yang baik dengan intensitas cahaya yang cukup; kondisi termis yang mendukung dengan suhu udara pada rentang-nyaman tertentu; dan kondisi audial dengan intensitas gangguan bunyi rendah yang tidak mengganggu pengguna bangunan.
Karena cukup banyak aktivitas manusia yang tidak dapat diselenggarakan akibat ketidaksesuaian kondisi iklim luar, manusia membuat bangunan. Dengan bangunan, diharapkan iklim luar yang tidak menunjang aktivitas manusia dapat dimodifikasidiubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang lebih sesuai.
Usaha manusia untuk mengubah kondisi iklim luar yang tidak sesuai menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia di daerah tropis seringkali gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di dalam bangunan. Ketika berada di dalam bangunan, pengguna bangunan justru seringkali merasakan udara ruang yang panas, sehingga kerap mereka lebih memilih berada di luar bangunan.


Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk menanggulangi persoalan iklim dalam bangunan yang dirancangnya, ia secara benar mengartikan bahwa bangunan adalah alat untuk memodifikasi iklim. Iklim luar yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktivitas manusia dicoba untuk diubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai. Para arsitek yang kebetulan hidup, belajar dan berprofesi di negara beriklim sub-tropis, secara sadar atau tidakatau karena aturan membangun setempatkerap melakukan tindakan yang benar. Karya arsitektur yang mereka rancang selalu didasari pertimbangan untuk memecahkan permasalahan iklim setempat yang bersuhu rendah. Bangunan dibuat dengan dinding rangkap yang tebal, dengan penambahan bahan isolasi panas di antara kedua lapisan dinding sehingga panas di dalam bangunan tidak mudah dirambatkan ke udara luar.
Meskipun mereka melakukan tindakan perancangan guna mengatasi iklim sub-tropis setempat, karya mereka tidak pernah disebut sebagai karya arsitektur sub-tropis, melainkan sebagai arsitektur Victorian, Georgian dan Tudor; sementara sebagian karya yang lain diklasifikasikan sebagai arsitektur modern (modern architecture), arsitektur pasca-modern (post-modern architecture), arsitektur modern baru (new modern architecture), arsitektur teknologi tinggi (high-tech architecture), dan arsitektur dekon
struksi (deconstruction architecture).

Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi masalah iklim setempat tidak selalu diberi sebutan arsitektur iklim tersebut, karena pemecahan problematik iklim merupakan suatu tuntutan mendasar yang 'wajib' dipenuhi oleh suatu karya arsitektur di manapun dia dibangun. Sebutan tertentu pada suatu karya arsitektur hanya diberikan terhadap ciri tertentu karya tersebut yang kehadirannya 'tidak wajib', serta yang kemudian memberi warna atau corak pada arsitektur tersebut. Sebut saja arsitektur yang 'bersih' tanpa embel-embel dekorasi, yang bentuknya tercipta akibat fungsi (form follows function) disebut arsitektur modern. Arsitektur dengan penyelesaian estetika tertentuyang antara lain menyangkut bentuk, ritme dan aksentuasidiklasifikasikan (terutama oleh Charles Jencks) ke dalam berbagai nama, seperti halnya arsitektur pasca-modern, modern baru dan dekonstruksi. Semua karya arsitektur tersebut tidak pernah diberi julukan 'arsitektur sub-tropis' meskipun karya tersebut dirancang di daerah iklim sub-tropis guna mengantisipasi masalah iklim tersebut.

Kemudian mengapa muncul sebutan arsitektur tropis? Seolah-olah jenis arsitektur ini sepadan dengan julukan bagi arsitektur modern, modern baru dan dekonstruksi. Jenis yang disebut belakangan lebih mengarah pada pemecahan estetika seperti bentuk, ritme dan hirarki ruang. Sementara arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, adalah karya arsitektur yang mencoba memecahkan problematik iklim setempat.
Bagaimana problematik iklim tropis tersebut dipecahkan secara desain atau rancangan arsitektur? Jawabannya dapat seribu satu macam. Seperti halnya yang terjadi pada arsitektur sub-tropis, arsitek dapat menjawab dengan warna pasca-modern, dekonstruksi ataupun High-Tech, sehingga pemahaman tentang arsitektur tropis yang selalu beratap lebar ataupun berteras menjadi tidak mutlak lagi. Yang penting apakah rancangan tersebut sanggup mengatasi problematik iklim tropishujan deras, terik radiasi matahari, suhu udara yang relatif tinggi, kelembapan yang tinggi (untuk tropis basah) ataupun kecepatan angin yang relatif rendahsehingga manusia yang semula tidak nyaman berada di alam terbuka, menjadi nyaman ketika berada di dalam bangunan tropis itu. Bangunan dengan atap lebar mungkin hanya mampu mencegah air hujan untuk tidak masuk bangunan, namun belum tentu mampu menurunkan suhu udara yang tinggi dalam bangunan tanpa disertai pemecahan rancangan lain yang tepat.

Dengan pemahaman semacam ini, kemungkinan bentuk arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, menjadi sangat terbuka. Ia dapat bercorak atau berwarna apa saja sepanjang bangunan tersebut dapat mengubah kondisi iklim luar yang tidak nyaman, menjadi kondisi yang nyaman bagi manusia yang berada di dalam bangunan itu. Dengan pemahaman semacam ini pula, kriteria arsitektur tropis tidak perlu lagi hanya dilihat dari sekedar 'bentuk' atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembapan relatif tidak terlalu tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari hujan, dan terhindar dari terik matahari. Penilaian terhadap baik atau buruknya sebuah karya arsitektur tropis harus diukur secara kuantitatif menurut kriteria-kriteria fluktuasi suhu ruang (dalam unit derajat Celcius); fluktuasi kelembapan (dalam unit persen); intensitas cahaya (dalam unit lux); aliran atau kecepatan udara (dalam unit meter per detik); adakah air hujan masuk bangunan; serta adakah terik matahari mengganggu penghuni dalam bangunan. Dalam bangunan yang dirancang menurut kriteria seperti ini, pengguna bangunan dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di alam luar.

Penulis menganggap bahwa definisi atau pemahaman tentang arsitektur tropis di Indonesia hingga saat ini cenderung keliru. Arsitektur tropis sering sekali dibicarakan, didiskusikan, diseminarkan dan diperdebatkan oleh mereka yang memiliki keahlian dalam bidang sejarah atau teori arsitektur. Arsitektur tropis seringkali dilihat dari konteks 'budaya'. Padahal kata 'tropis' tidak ada kaitannya dengan budaya atau kebudayaan, melainkan berkaitan dengan 'iklim'. Pembahasan arsitektur tropis harus didekati dari aspek iklim. Mereka yang mendalami persoalan iklim dalam arsitekturpersoalan yang cenderung dipelajari oleh disiplin ilmu sains bangunan (fisika bangunan)akan dapat memberikan jawaban yang lebih tepat dan terukur secara kuantitatif. Mereka yang dianggap ahli dalam bidang arsitektur tropisKoenigsberger, Givoni, Kukreja, Sodha, Lippsmeier dan Nick Bakermemiliki spesialisasi keilmuan yang berkaitan dengan sains bangunan, bukan ilmu sejarah atau teori arsitektur.

Kekeliruan pemahaman mengenai arsitektur tropis di Indonesia nampaknya dapat dipahami, karena pengertian arsitektur tropis sering dicampuradukkan dengan pengertian 'arsitektur tradisional' di Indonesia, yang memang secara menonjol selalu dipecahkan secara tropis. Pada masyarakat tradisional, iklim sebagai bagian dari alam begitu dihormati bahkan dikeramatkan, sehingga pertimbangan iklim amat menonjol pada karya arsitektur tersebut. Manusia Indonesia cenderung akan membayangkan bentuk-bentuk arsitektur tradisional Indonesia ketika mendengar istilah arsitektur tropis. Dengan bayangan iniyang sebetulnya tidak seluruhnya benarpembicaraan mengenai arsitektur tropis akan selalu diawali. Dari sini pula pemahaman mengenai arsitektur tropis lalu memiliki konteks dengan budaya, yakni kebudayaan tradisional Indonesia. Hanya mereka yang mendalami ilmu sejarah dan teori arsitektur yang mampu berbicara banyak mengenai budaya dalam kaitannya dengan arsitektur, sementara arsitektur tropis (basah) tidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi di seluruh negara yang beriklim tropis (basah) dengan budaya yang berbeda-beda, sehingga pendekatan arsitektur tropis dari aspek budaya menjadi tidak relevan.

Dari uraian di atas, perlu ditekankan kembali bahwa pemecahan rancangan arsitektur tropis (basah) pada akhirnya sangatlah terbuka. Arsitektur tropis dapat berbentuk apa sajatidak harus serupa dengan bentuk-bentuk arsitektur tradisional yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia, sepanjang rancangan bangunan tersebut mengarah pada pemecahan persoalan yang ditimbulkan oleh iklim tropis seperti terik matahari, suhu tinggi, hujan dan kelembapan tinggi.




sumber : http://darsitektur.tripod.com/art1.html

RUMAH TAHAN GEMPA

Rumah Tahan Gempa dari Sengkang Benar.



Betapa banyak rumah masyarakat yang rusak akibat gempa. Menilik musibah gempa Tasikmalaya pada 2 September 2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan, 67.760 rumah rusak berat dan 150.839 rumah rusak ringan hanya di beberapa wilayah Jawa Barat.


Hengki Wibowo Ashadi, pengajar di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kamis (10/9), mengatakan, membangun rumah tahan gempa tidak rumit, hanya menuntut pembentukan detail yang tepat di bagian-bagian tertentu.

”Membangun rumah tahan gempa tidak pula mahal. Pemilihan material bisa dimulai dari pemanfaatan reruntuhan batu bata bekas hingga penggunaan material ringan, seperti papan gabus untuk lapisan bagian dalam dinding dengan permukaannya dilapisi beton tipis,” kata Hengki, Kamis (10/9) di ruang kerjanya di Jakarta.

Hengki mengatakan, sebagian besar korban tewas akibat gempa adalah korban yang tertimpa bangunan. Untuk mengurangi risiko tersebut pada masa-masa mendatang, masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa patut mempertimbangkan metode-metode pembangunan rumah tahan gempa.

Berkaca dari gempa Tasikmalaya, sesuai laporan terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terdapat 80 orang tewas dan 47 orang dinyatakan hilang. Kemudian sebanyak 1.142 orang terluka. Ini sangat tragis. Andai saja bangunan rumah mereka tahan gempa.

Dari jumlah ribuan rumah penduduk yang rusak akibat gempa, ternyata masih ada data tambahan 1.193 unit bangunan sekolah rusak berat dan 1.664 unit sekolah rusak ringan. Ini menunjukkan, kalangan dunia pendidikan pun masih abai terhadap bangunan tahan gempa.

Sengkang yang benar


Hengki menuturkan, membuat rumah tahan gempa dengan bentuk yang lazim dibuat penduduk seperti sekarang itu mudah dan murah. Kuncinya pada detail penempatan dan pembuatan sengkang (ring pada balok) yang harus benar.

”Saya pernah menyurvei toko-toko bangunan yang menjual kerangka besi untuk balok-balok beton. Rata-rata penempatan posisi sengkang salah semua,” kata Hengki.

Posisi sengkang yang benar bertujuan supaya rumah yang dibangun nantinya tahan gempa. Sengkang yang benar mencermati kerapatan posisi sengkang di ujung-ujung setiap balok beton. Sengkang pada kedua ujung balok itu harus rapat.

Jarak kerapatan sengkang satu sama lain bisa sekitar 5 sentimeter. Namun, patokan yang benar, batu untuk campuran beton yang dipergunakan harus tak bisa lolos. Kalau ukuran kerikil batu sekitar 2 sentimeter, mau tak mau kerapatan sengkang tak lebih dari 2 sentimeter.

Untuk ketinggian rangkaian, posisi sengkang yang rapat itu ditetapkan dua kali lebar balok yang ingin dibentuk. Kalau lebar balok 20 sentimeter, rangkaian sengkang yang merapat di kedua ujung balok tersebut panjangnya harus 40 sentimeter.

”Posisi sengkang yang merapat di kedua ujung balok menjadi penahan gerakan gempa. Bentuk detail sengkang pada ujung balok beton ini yang paling penting, tetapi masih banyak diabaikan,” kata Hengki.

Berdasarkan survei ke toko-toko bangunan yang menjual sengkang, menurut Hengki, bentuk sengkang yang dijual di toko-toko bangunan itu rata-rata salah. ”Ujung besi sengkang yang salah itu posisinya tak dibelokkan ke tengah-tengah diagonal sengkang,” kata Hengki.

Ujung besi sengkang yang dibelokkan ke tengah diagonal berfungsi memberi kekuatan yang lebih untuk menahan gaya gempa.

Terkait dengan penguatan struktur tulang lainnya yang sering diabaikan masyarakat, lanjut Hengki, yaitu tidak ada penjangkaran pada sambungan balok beton vertikal dengan horizontal.

Penjangkaran atau pembelokan ujung besi balok horizontal ke bawah menempel besi balok vertikal itu memiliki rumus panjang 20 kali diameter besi yang digunakan. Kalau besi yang digunakan berdiameter 10 milimeter, penjangkarannya cukup dengan 200 milimeter.

Balok beton fleksibel

Metode lain membuat rumah tahan gempa adalah dengan pembentukan balok beton fleksibel. Balok beton fleksibel tidak menyatu dengan lapisan dinding, tetapi hanya dihubungkan dengan pelat baja.

”Ketika terjadi gempa, struktur balok beton fleksibel itu dibebaskan bergerak. Namun, lapisan dinding dipertahankan tidak bergerak supaya terhindar dari keretakan,” kata Hengki.

Pada prinsipnya, bangunan atau rumah tahan gempa itu menggunakan material yang ringan, tetapi kuat. Logikanya, ketika terpaksa harus runtuh akibat gempa, struktur bangunan dari material ringan itu tidak akan sampai mematikan.

”Di sinilah letak penting untuk kembali menengok cara-cara tradisional kita dalam mendirikan bangunan atau rumah dengan kayu dan bambu. Kemudian, atapnya berupa ijuk, dan sebagainya,” kata Hengki.

Pemilihan material seperti kayu dan bambu memenuhi unsur ringan dan kuat, seperti pembuatan dinding dengan gedek atau rajutan bilah bambu itu jelas akan membentuk lapisan dinding yang ringan dan ramah terhadap gempa.

Untuk menempuh kembali metode tradisional tersebut, Hengki mengatakan, langkah terpenting adalah membuat material yang lebih kuat dan tahan lama, seperti melapisi bambu dengan polimer.



sumber : http://properti.kompas.com/read/2009/09/11/09563692/Rumah.Tahan.Gempa.dari.Sengkang.Benar

ARSITEKTUR HIJAU

Arsitektur Hijau

Sebuah konsep arsitektur yang berusaha meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan menghasilkan tempat hidup yang lebih baik dan lebih sehat, yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber energi dan sumber daya alam secara efisien dan optimal.
Arsitekture hijau mulai tumbuh sejalan dengan kesadaran dari para arsitek akan keterbatasan alam dalam menyuplai material yang mulai menipis.Alasan lain digunakannya arsitektur hijau adalah untuk memaksimalkan potensi site.
Penggunaan material-material yang bisa didaur-ulang juga mendukung konsep arsitektur hijau, sehingga penggunaan material dapat dihemat.
Green’ dapat diinterpretasikan sebagai sustainable (berkelanjutan), earthfriendly (ramah lingkungan), dan high performance building (bangunan dengan performa sangat baik).
Suatu bangunan belum bisa dianggap sebagai bangunan berkonsep Arsitektur hijau apabila bangunan tersebut tidak bersifat ramah lingkungan. Maksud tidak bersifat ramah terhadap lingkungan disini tidak hanya dalam perusakkan terhadap lingkungan. Tetapi juga menyangkut masalah pemakaian energi.Oleh karena itu bangunan berkonsep green architecture mempunyai sifat ramah terhadap lingkungan sekitar, energi dan aspek – aspek pendukung lainnya.

PRINSIP-PRINSIP GREEN ARCHITECTURE :

1. Hemat energi / Conserving energy : Pengoperasian bangunan harus meminimalkan penggunaan bahan bakar atau energi listrik ( sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan ).
2. Memperhatikan kondisi iklim / Working with climate : Mendisain bagunan harus berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi tapak kita, dan sumber energi yang ada.
3. Minimizing new resources : mendisain dengan mengoptimalkan kebutuhan sumberdaya alam yang baru, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat digunakan di masa mendatang / Penggunaan material bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber daya alam.
4. Tidak berdampak negative bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan tersebut / Respect for site : Bangunan yang akan dibangun, nantinya jangan sampai merusak kondisi tapak aslinya, sehingga jika nanti bangunan itu sudah tidak terpakai, tapak aslinya masih ada dan tidak berubah.( tidak merusak lingkungan yang ada ).
5. Merespon keadaan tapak dari bangunan / Respect for user : Dalam merancang bangunan harus memperhatikan semua pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya.
6. Menetapkan seluruh prinsip – prinsip green architecture secara keseluruhan / Holism : Ketentuan diatas tidak baku, artinya dapat kita pergunakan sesuai kebutuhan bangunan kita.


CONTOH BANGUNAN :



1.


2 .



3.







SUMBER ARTIKEL : http://asmanakbarfitrial.blogspot.com/2010/11/arsitektur-hijau.html